MAKALAH
PENGANTAR ILMU PEMERINTAHAN
PERBANDINGAN ETIKA PEMERINTAHAN
NEGARA
“INDONESIA DAN ISRAEL”

OLEH:
YOGI KOMALA PUTRA 2011/1106462
PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU SOSIAL POLITIK
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
PADANG 2011
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah
memberikan saya kekuatan dan kesehatan, hingga saya dapat mampu menyelesaiakn
tugas makalah “Perbedaan Etika
Pemerintahan Indonesia dan Israel”.
Dalam penyusunan makalah ini saya banyak
mendapat pelajaran serta kesulitan,tetepi berkat bimbingan, pengarahan, dan
bantuan dari berbagai pihak, ahirnya makalah ini dapat diselesikan tepat
waktu,oleh karena itu maka dari itu saya ucapakan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Pemerintahan
2.
Teman-teman kos
3.
Dan pihak-pihak yang telah member kontribusi dalam proses penyusunan
Saya menyadari sekali,dalam penyususnan makalah ini masih
banyak kekurangan baik dari tata bahasa ataupun masalah tenis penulisan dan
jauh dari kata sempurna itu semua semata-mata atas keterbatasan saya dalam
proses belajar, oleh karena itu saya harap kritik dan saran guna memperbaiki
kelemahan tulisan saya.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini
kiranya makalah ini dapat bermanfaat baik untuk pribadi maupun rekan-rekan
serta pihak lain yang terinspirasi dari makalah Perbedaan Etika Pemerintahan Indonesia dan Israel.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Identifikasi Masalah
1.3
Batasan Masalah
1.4
Metodologi Penulisan
1.5
Tujuan Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Etika
2.2 Pengertian Sistem Pemerintahan
2.3 Pengertian Pemerintahan
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Etika
Pemerintahan
3.3 Konsekuensi Presidensial Di
Tengah Transisi Demokrasi
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
4.2 SOLUSI
4.3 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
indonesia Sebagai bangsa timur mengenal etika sebagai
prinsip-prinsi dasar pergaulan antar
individu, maupun kelompok dengan
individu, baik buruknaya etika bergantung pada sistem nilai yang mempengaruhi
seperti budaya,agama, dll. sedang Demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu
transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Transisi dimulai dari keruntuhan
rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan
lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.
Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen
seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konstitusi baru yang
telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan
politik. Implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru
sistem politik dan institusi politik. Tulisan ini akan membahas tentang
konsolidasi demokrasi melalui amandemen konstitusi di Indonesia Bicara sistem pemerintahan
khususnya Indonesia memang banyak faktor yang mempengaruhi misalkan : Bentuk
Negara, Bentuk pemerintahan, Sistem politik, Ideologi, serta Faham
kedaulatan yang dianut sebuah bangsa,
rezim yang berkuasa dan ekologi sosial serta kultur masyarakat secara tidak
langsung mempengaruhi sistem pemerintahan
Jika kita melihat fenomena dewasa ini, sistem pemerintahan
Indonesia di warnai dengan sikap oposisi yang diambil partai demokrasi
perjuangan PDI,P yang merupakan salah
satu partai besar di Indonesia hal ini menyebabkan perubahan yang cukup
derastis karena sebelumya oposisi merupakan sebuah kata tabu/dilarang disebut
dalam sistem pemerintahan di Indonesia selain itu kostitusi kita belum mengatur
oposisi dalam pemerintahan Indonesia .
Ini menjadi dilema ketika keberdaan oposisi dalam sistem
pemerintahan Indonesia, belum diakui secara konstitusional disisi lain
keberadaan oposisi sangat di butuhkan ketika kolisi yang digalang partai
pemerintah menimbulkan ketidak seimbanagan kekutan fraksi-fraksi dalam legislatif
menimbulkan kehawatiran menimbukan over power pemerintah karena legislative
yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan pemerintah justeru menjadi alat
legalisasi presiden dalam bertindak, dilemma ini didak semata – mata karena
situasional tetapi saya melihat justeru sistemik meyebabkan hal ini dapat kita
analisis dalam.
Sistem multi partai di gunakan ini secara tidak langsung
mengakibatkan pecahnya konsentrasi suara dalam pemilihan umum legislatif kedalam partai - partai kecil ini menimbulkan
efek pada partai untuk melakukan koalisi dan oposisi dalam memengkan pemilihan
presiden.
Maka dari itu dilema oposisi dalam sistem pemerintahan di
Indonesia merupaka dampak sistemik sistem kepartaian, serta dampak ketidak
ketegasan sistem pemerintaha seperti apa yang sebenarnya kita jalankan.
Akan tetapi oposisi merupaka kebutuhan yang mendesak dewas
ini untuk mewujudkan keseimbangan dalam legislatife, Setelah era reformasi di
Indonesia pada 1997, dengan pertimbangan berbagai budaya dan keadaan politik
yang rumit, telah berlaku proses desentralisasi pemerintahan dari sistem
sentralisasi kepada non-sentralisasi
Dalam sistem pemerintahan Indonesia tidak dapat dipungkiri, pemilu merupakan elemen terpenting
demokrasi. Demokrasi hanya bisa hadir dalam partai politik yang tumbuh bebas
yang bertarung dalam pemilu yang jujur (Duverger 1963). Hadirnya institusi
pemilu yang mantap juga sangat vital dalam konsolidasi demokrasi. Selain itu,
pemilu juga sarana efektif untuk menyalurkan partisipasi politik rakyat dan
menjamin terpilihnya elit politik yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sejak
reformasi, pemilu di Indonesia bisa dikategorikan jujur dan menjadi rujukan
kisah sukses terkait dengan konsolidasi demokrasi di negara berkembang.
Dalam
Undang-Undang 1945, pemerintah Indonesia merupakan pemerintahan dengan sistem
presidensial. Dalam sistem tersebut, ditegaskan bahwa Presiden adalah orang
yang nomor satu di pemerintahan. Pada sistem ini pun, menteri-menteri yang
diangkat untuk menduduki kabinet, merupakan orang-orang yang terpilih
berdasarkan keahliannya (zaken
cabinet) “Yang terjadi
saat ini, menteri-menterinya berasal dari berbagai partai. Akhirnya terjadilah
kabinet koalisi. Para menteri menjadi perwakilan dari partai-partai. Inilah
yang menjadi anomali, keganjilan yang terjadi pada pemerintah kita saat ini” .
Terbentuknya kabinet
koalisi ini dikarenakan banyak partai yang mengikuti pemilu. Sehingga
Kekuatan rakyat dalam pemiluterpecah ini mengakibatkan tidak ada partai yang
mampu mendominsasi kursi dalam legislatif maka dihawatirkan, eksekutif tidak
dapat berkerja efektif karena terganjal dalam legislative, selain itu presiden yang terpilih bukan berdasarkan
suara dari partai yang paling banyak dipilih. Akibatnya, calon presiden
harus menggalang kekuatan dengan partai-partai lain.
“Ini pula menjadi anomali pada kondisi politik saat ini.
Sistem pemilu yang diterapkan adalah sistem proporsional, seharusnya
menggunakan sistem distrik. Dengan sistem proporsional, lebih mudah partai yang
masuk ke parlemen, walaupun ada sistem electoral threshold,” lanjutnya.
Sistem-sistem ini diawali dengan tuntutan penerapan
demokrasi di Indonesia yang lebih kuat. Tuntutan kebebasan untuk berserikat,
berkumpul dan membentuk partai, diartikan salah oleh sebagian orang.
“Demokrasi itu sangat kompleks. Jangan diartikan bebas, sebebas-bebasnya.
Demokrasi membutuhkan kedewasaan sosial, ekonomi dan politik. Inilah yang harus
dipahami seluruh pihak,”
Selain keganjilan pada sistem kabinet dan pemilu. sistem
oposisi. Beberapa partai yang tidak menang pemilu dan tidak berkoalisi, sepakat
menjadi oposisi pemerintahan. “Kalau kita menerapkan sistem zaken cabinet
dalam pemerintahan presidensial, tentu saja tidak ada yang namanya oposisi.
Karena para menteri tidak mewakili partai, jadi mau membela atau melawan partai
yang lainnya. Untuk itu dilema oposisi dalam ekologi ( lingkungan ) sistem
pemerintahan sekarang yang mengalang Koalisi besar yaitu Demokrat sebagai
partai pemerintah, merangkul,Golkar, PKS,PAN ,DAN PKB ini memyebabkan
keseimbangan kursi di legislatif tidak seimbang ini menghawatirkan, karena bisa
berdampak pada power full pemerintah,
Sementara itu tugas dari legislative sendiri berfungsi
sebagai pengontrol, dan penbuat aturan
dalam sistem pemerintahan Indonesia Untuk itu,sikap oposisi yang di tujukan
PDIP, GERINDRA, Dan HANURA, menjadi peyeimbang kekuatan dalam legislative
sebagai pengontrol pemerintah dapat
mengacu kepada Sila Keempat Pancasila yakni Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. "Itu yang
sebenarnya menjadi acuan berpolitik," kata dia. Sedangkan untuk mengawasi
jalannya pemerintahan, di tingkat Pusat dilakukan oleh wakil-wakil PDI
Perjuangan di DPR RI. Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai figur yang
konsisten memperjuangkan partai dan mempunyai nasionalisme yang tinggi.
Tapi dalam kenyataan dalam aplikasi dalam lapangan menujukan
bahwa oposisi yang digalang megawati justeru oposisi yang setengah hati yang di
maksud setengah hati adalah oposisi yang di bangun dalam system pemerintahan Indonesia
sangat rancu dan lucu pabila kita menarik makna oposisi dan funsi oposisi yang
semestinya tidak masuk dalam cabinet Indonesia bersatu jilid II,lalu funsi
penyeimbang dan pengawas pemerintah dimana, karena sebagian kader partai PDIP
sendiri masuk dalam cabinet, jika PDIP mengkritisi sebuah kebijakan dalam
pemerintah seharusnya malu karena sebagian kebijakan yang di buat juga oleh
kadernya yang seharusnya sejalan denagan cita – cita dasar partainya.
Selain itu kesiapan partai yang memposisikan diri untuk
menjadi oposisi dalam lingkungan sistem pemerintahan kurang memunjukan fungsi
oposisinya tidak terjadi power full kekutan dalam pemerintah yang menyebabkan
timbulnya kerawanan terhadap kemunkinan pemerintah menjadi diktaktior terhadap
masyarakat dalam menerapkan kebijakan.
1.2 Identifikasi Masalah
1.
Kerancuan sistem pemerintahan Indonesia dalam hal ini, sistem presidensial
dengan multi partai menyebabkan multi efek yaitu munculnya koalisi dan oposisi
yang merupakan hal baru di Indonesia semenjak runtuhnaya orde baru.
2.
Etika oposisi yang di jalankan faksi-fraksi dalam legislatif cenderung
menghalalkan segala cara, menimbulkan efektifitas pemerintahan tergangu
3.
Implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem
politik dan institusi politik pemerintahan akan tetapi paying konstitusi belum
terbentuk untuk oposisi dalam sistem pemerintahan.
1.3 Batasan
Masalah
Kondisi sistem pemerintahan dan sistem politik di indonesia
yang termasuk dalam transisi demokrasi,meyebankan belum telalu matangnya sistem
yang ada serta kesiapan psikologi, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pelum
terlalu siap menerapkan sistem oposisi dalam pemerintahan indonesia dalam
makalah ini menitik beratkan atau menfokuskan pada dilemma kebutuhan keberadaan
oposisi dalam gejolak perubaha reformasi dalam sisitem pemerintahan dengan
keadaan dan kedudukan posisi hirarki dalam kelembagaan sisitem pemerintahan
yang mulai berubah dimana MPR merupakan bukan lembaga tertingi Negara lagi maka
oposisi merupakan jawaban sebagai control pemerintahan yang efektif bila kita
melihat secara konstitusional memang kedudukan oposisi belum diatur secara
khusus, namun denikian DPR yang seharusnya memegang peran sebagi pengawas
penerapan kebijakan pemerintah tidak berjalan baik karena DPR terlalu banyak
kompromi politik meyebankan kondisi yang rawan terhadap super poweritas
presiden sebagai pemimpin pemerintahan, akan tetapi oposisi yang merupakan hal
baru di Indonesia maka butuh waktu dan adaptasi sistem konstitusi pemerintahan
yang tepat,oleh karena itu peran oposisi dalam sisitem denokrasia adalah
Mengorganisir kaum marginal (voiceless) melalui
pendekatan yang konfrontatif, misalnya menggelar aksi parlemen jalanan yang
rawan perpecaha kesatuan bangsa, denagan adanya oposisi dalam sisitem
pemerintahan maka gejolak itu mampu ditampung dalam oposisi sehinga mampu
tersalurkan secara benar, sehinga dalam proesnya akan memperbaiki sistem.
1.4 Metode Penulisan
Dalam tulisan saya ini saya nenganalisis fenomena oposisi dalam
sistem pemerintahan Indonesia, dengan
metode penulisan melalui setudi pustaka dari literature-literatur dalam
internet serta buku-buku dan Koran serta data-data lainya secara makalah ini di
susun secara deskriptif , wacana ini saya angkat melihan fenomena century,
dengan bergulirnya hak angket yang di jalankan DPR untuk menguak sekandal ini,
serta pecahnya kolisi dan menangnya oposisi dalam kasus ini
1.5 TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.
Memahami sistem pemerintahan Indonesia
dan etika dalam sistem pemerintahan
2.
Mengetahui perkembanagan sistem pemerintahan di Indonesia
3.
Mengetahui dilema oposisi dalam sistem pemerintahan sekarang ini
4.
Sebangi salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah etika pemerintahan
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Etika
Etika (ethics)
adalah sistem dari prinsisp- prinsip moral tentang baik dan buruk. Baik dan
buruk terhadap tindakan atau prilaku. Etika dapat di bedakan antara etika umum
dan etika khusus (terbatas) dikalangan tertentu, misal etika pemerintahan.
Ethics dapat
berupa etika (etik), yaitu berasal dari dalam diri sendiri (hati nurani) yaitu
timbul bukan karena terpaksa ,akan tetapi didasarkan pada ethos dan sepirit
,jiwa dan semangat.ethics dapat berupa etiket,yaitu berasal dari luar diri(
menyenangkan orang lain) timbul karena keterpak saan di dasarkan pada norma dan
kaidah ketentuan.
Ethics atau etika dapat juga berarti tatasusila
(kesusilaan) dan tata sopan santun ( kesopanan)dalam pergaulan sehari haribaika
dalam keluarga maupun,masyarakat, pemerintah,berbangsa, dan bernegara.
Berikut beberapa pengertian yang berkaitan denagan etika:
a. Etika: (etik) sistem dari prinsip-prinsip
moral, dapat juga berupa rules of conduct, kode sosial (sicial code), etika
kehidupan. Dapat berartijuga ilmu pengetahuan tentang moral, atau cabang
filsafat
b. Ethos: (jiwa) karakteristik dari
masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu (community,society).
c. Esprit: (semangat) semangat d,crops,
loyalitas, dan cinta pada kesatuan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan
lain-lain.
d. Rule : (ketentuan dan peratuaran)
ketentuan-ketentuan dalam setiap pergaulan masyarakat yang memberi pedoman atau
pengawasan tentang benar dan salah
e. Norma : merupakan
standar kriteria pola, patokan yang mantap dari masyarakat atau pemerintah.
f. Moral : pengerian
tentang benar atau salah, prinsip-prinsip yang berhubungan benar dan salah.
2.2 Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata
system dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system
(bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan
Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah.
Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
a.
Perintah adalah perkataan yang
bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b.
Pemerintah adalah kekuasaan yang
memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c.
Pemerintahan adalaha perbuatan,
cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka
dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan
oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam
rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit,
pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif
beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem
pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai
komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam
mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut
Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang
berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan
pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berati kekuasaan membentuk
undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili
terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara
garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem
pemerintaha negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan
antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan
pemerintahan negara yang bersangkutan. Sistem berarti suatu keseluruhan
yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional
2.3 SEJARAH
PERKEMBANAGAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
1.
Tahun 1945 – 1949
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
a.
Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari
pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
b.
Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi
kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.
2. Tahun 1949 – 1950
Didasarkan
pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system
parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut
pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system
parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap
kekuasaan pemerintah.
3. Tahun 1950 – 1959
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti
konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet
dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
a.
presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b.
Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c.
Presiden berhak membubarkan DPR.
d.
Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
4, Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan
dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya
sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak
ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
5, Tahun 1966 – 1998
Orde baru pimpinan Soeharto lahir
dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama
kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei
’98.
6.
Tahun 1998 –
Sekarang (Reformasi)
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah
banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah
secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
4. Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum
diamandemen:
· Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat
kepada MPR.
· DPR sebagai pembuat UU.
· Presiden sebagai penyelenggara
pemerintahan.
· DPA sebagai pemberi saran kepada
pemerintahan.
· MA sebagai lembaga pengadilan dan
penguji aturan.
· BPK pengaudit keuangan.
5. Sistem
Pemerintahan setelah amandemen (1999- 2002)
Ø MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
Ø Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang
dipilih oleh rakyat.
Ø Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Ø Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Ø Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
bab iii
Pembahasan
3.1 Etika
Pemerintahan
Negara Kita
Telah Memiliki Kode Etik Dalam arti yang setinggi-tingginya dan berlaku bagi
seluruh bangsa dan warga negara indonesia, yaitu naskah proklamasi dan
pembukaan UUD 1945. Proklamasi merupakan titik akumulasi perjuangan bangsa
indonesia,
Komleksitas
perubahan dalam dinamika mengisi kemerdekana menimbulkan perubanhan yang dinamis maka perubanh itu harus didasari pada
etika dan aturan yang berlaku dalam masyarakt dan bangsa
Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) itu bersaudara. Bahkan keduanya merupakan saudara
kembar yang lahir dari ibu kandung yang sama: rakyat. Keduanya berhubungan dan
harus berhubungan sesuai dengan fungsi masing-masing. Presiden tanpa DPR akan
menjadi otoriter, DPR tanpa presiden laksana pohon tanpa buah atau dengan kata
lain bagaikan ilmu tanpa amal. Rakyat memerlukan presiden untuk menjalankan
pemerintahan negara dan rakyat membutuhkan DPR untuk mengawasi jalannya
pemerintahan tersebut. Presiden disebut eksekutif (dari kata to execute),
bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan (pemerintahan)
untuk mengeksekusi apa yang ditetapkan undang-undang.
Sementara DPR disebut legislatif karena DPR-lah yang
menjalankan fungsi legislasi di samping fungsi penganggaran dan fungsi
pengawasan. Dalam menjalankan fungsi legislasi DPR adalah pembentukan undang-
undang (lawmaker), bahkan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang.
Rancangan undang-undang (RUU) baik yang datang dari DPR maupun yang diajukan
presiden dibahas bersama-sama antara DPR dan presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Dalam menjalankan fungsi penganggaran DPR menerima dan
membahas Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan presiden
untuk disetujui menjadi APBN. Presiden melaksanakan APBN, DPR mengawasi pelaksanaannya.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan inilah DPR oleh UUD 1945
diberi instrumen berupa beberapa hak, yaitu hak interpelasi (hak mengajukan
pertanyaan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan
pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden
dan/atau wakil presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi,
penyuapan, dan pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
DPR menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU,
demikian juga presiden. Memang benar sejatinya UUD 1945, apalagi setelah
amendemen, menganut sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial
adalah adanya periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima
tahun.
Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya
kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi:
“Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.”
DPR “hanya” bisa berpendapat sesuai dengan hak menyatakan
pendapat yang dimilikinya bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan
tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden/wakil presiden tersebut (lihat Pasal 7B ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6,
dan 7 UUD 1945). Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat
DPR tersebut menjadi wewenang sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan
hukum acara di sana. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika seandainya MK telah
membuktikan kebenaran pendapat DPR sekalipun dan DPR mengajukan usulan kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan presiden/wakil
presiden, MPR dapat saja tidak memberhentikannya.
Sebab, presiden/wakil presiden masih juga diberi kesempatan
untuk memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan presiden telah
terbukti bersalah. Penjelasan presiden/wakil presiden tersebut toh bisa saja
diterima oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden
secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada,
tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil.
Berbeda dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan sepenuhnya
politis dan itu hanya terjadi di dalam (within) dua lembaga politik saja, yaitu
DPR (ingat mekanisme jatuhnya memorandum kepada presiden jika DPR menduga
presiden melanggar garis-garis besar daripada haluan Negara) dan MPR (melalui
Sidang Istimewa) saja.
Sementara setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil
presiden merupakan perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses
hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga
memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan menurut penafsiran penulis MK-lah
yang lebih menentukan secara signifikan: satu-satunya lembaga negara yang
berhak memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran
tersebut di atas itu.
Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan
Presiden, kecuali Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui
tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden/wakil presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan
DPR. Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain dan hanya
bisa dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya.
Hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi
atau oposisi, melainkan lebih dalam relasi checks and balances. Dalam hal
legislasi, DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang
diajukan pemerintah; dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau
menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan presiden dan dalam bidang
pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang
dilakukan presiden/pemerintah. Hatta ketika presiden tersebut datang dari
partai politik yang sama! Kriterium penerimaan atau penolakan DPR hanyalah
satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak
Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi! Memang ada
pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang
dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga negara yang juga berfungsi mengontrol
kekuasaannya melalui mekanisme checks and balances, tetapi presiden sebagai
kepala pemerintahan adalah satu-satunya yang berwenang melakukan eksekusi (to
excecute). Sampai di sini semuanya jelas dan terang-benderang. Yang namanya
DPR, baik partai politik induknya bergabung dalam koalisi pemerintahan maupun
berada di luar pemerintahan, tugas konstitusionalnya adalah menjalankan ketiga
fungsi tersebut, terutama pengawasan.
Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, anggota DPR
tetap bertugas mengawasi Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya, power tends
to corrupt, absolute power corrupt absolutely! Sebab siapa pun dia, begitu
mereka memegang kekuasaan maka yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung
untuk korup! Dan karena itu harus diawasi! Dalam konteks dan perspektif ini
maka dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan
di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara.
Partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi untuk
melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Partai-partai
politik yang berkoalisi yang menempatkan menteri-menterinya di
kabinet/pemerintahan harus berkoalisi untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dalam perspektif ini maka agak aneh kalau akhir-akhir ini, wacana tentang
koalisi dan oposisi mendominasi ruang publik kita, utamanya di kalangan
pemerhati politik. Walhasil bagi anggota DPR sebenarnya nothing to do dengan
sikap partainya. Meski partainya bergabung dalam kabinet, fungsi dan wewenang
anggota DPR tetap seperti itu: menjalankan fungsi pengawasan. Konkretnya, kader
Golkar yang menjadi menteri bertugas menjalankan pemerintahan dan kader Golkar
yang menjadi anggota DPR bertugas menjalankan fungsi pengawasan. Tidak peduli
meskipun yang diawasi adalah sesama kader Golkar. Walhasil, yang bergabung
dalam cabinet bertugas menjalankan pemerintahan negara dan yang bergabung dalam
DPR bertugas mengawas jalannya pemerintahan.
3.3 Konsekuensi Presidensial di tengah transisi demokrasi
Sejak reformasi, sistem pemerintahan bergeser dari
parlementer “abu-abu” menjadi presidensial. Sistem presidensial mengasumsikan
terjadinya mekanisme checks and balances antara presiden baik sebagai
kepala pemerintahan (chief of state) maupun sebagai kepala pemerintahan
(head of the government) sekaligus berhadapan dengan legislatif (DPR).
Baik legislatif maupun eksekutif (Presiden) dihasilkan melalui proses pemilihan
yang berbeda. Artinya proses pengisian jabatan politik di tingkat pusat pada
sistem presidential dilakukan dalam dua kali pemilihan, pemilu legislatif dan
pemilu presiden (Pilpres).
Sebagai pembanding, sistem parlementer hanya memerlukan satu
kali pemilihan untuk menentukan elit di pusat, baik legislatif maupun
eksekutif. Eksekutif (biasanya disebut perdana menteri) dipilih oleh dan dari
anggota legislatif. Kondisi yang hampir mirip pernah dipraktekkan Indonesia
berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen.
Logika sistem presidensial yang dipakai di tingkat nasional,
diadopsi di tingkat lokal untuk menjamin mekanisme checks and balances tetap
berlangsung. Akibatnya elit politik lokal di daerah, baik di provinsi maupun
kabupaten/kota juga dihasilkan dari dua kali pemilihan. Legislatif dihasilkan
dari Pemilu dan eksekutif diperoleh dari Pilkada. Hal ini berdampak luas
terhadap ketertarikan rakyat untuk ikut dalam pemilihan berkaitan dengan luas
dan banyaknya daerah di Indonesia.
Setelah pemekaran, saat Indonesia memiliki satu pemerintahan
di tingkat pusat, 33 provinsi dan 489 kabupaten/kota. Artinya jabatan politik
yang harus dipenuhi diselenggarakan oleh pemilihan sebanyak (1+33+489) x 2 =
1046 kali. Dikurangi enam bupati/walikota di Provinsi DKI yang ditetapkan
gubernur, Indonesia setidaknya melakukan 1040 pemilu selama lima tahun atau 208
pemilu per tahun. Apablila terdapat 365 hari dalam setahun, hitungan kasar
menunjukkan setidaknya pemilihan diadakan setiap dua hari sekali.
Hitungan diatas sengaja tidak memasukkan faktor berupa
pemilihan yang diadakan serempak untuk mengisi beberapa jabatan politik di
beberapa tingkatan sekaligus yang digelar di beberapa daerah. Tetapi hitungan
sederhana diatas, belum ditambah dengan pemilihan di tingkat desa yang juga dua
kali, menunjukkan banyaknya pemilihan yang diikuti warga negara pemegang hak
pilih. Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut sebagai electionist atau
bosan memilih. Pemilu bukan lagi peristiwa menantang yang dihadapi sekali dalam
sekian periode tertentu, tetapi membosankan karena dilakukan berulang-ulang
seperti sebuah rutinitas sehari-hari, ini meyebankan kondisi yang kurang
setabil dalam sistem pemerintahan kita sekarang sedangkan kondisi politik
berkait erat dengan kondisi pemerintahan. Kondisi politik meyebabkan adanya
tuntutan koalisi partai politik dalam legislatif sedang anti tesisinya secara
tidak langsung menimbulkan Oposan dalam sistem pemerintahan Indonesia
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Oposisi merupakan bentuk Konsolidasi demokrasi dalam sistem
pemerintahan tidak sekedar untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri
konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dari proses
institusionalisasi politik, yang di dalamnya mencakup agenda rekonstitusi
maupun penciptaan prosedur kelembagaan baru yang kondusif bagi demokrasi.
Institusionalisasi politik pada dasarnya hendak melakukan reformasi sistemik
institusi politik, prosedur dan aturan main yang lebih cocok dengan demokrasi.
Setidaknya ada tiga sasaran dalam melakukan institusionalisasi politik, yaitu
(1) institusi eksekutif-negara (lembaga kepresidenan, sistem
pemerintahan, birokrasi dan militer);
(2) institusi perwakilan (parlemen, partaipolitik dan
pemilihan umum); dan
(3) lembaga peradilan dan sistem hukum.
Dalam konteks ini, para pemimpin politik melakukan crafting
yang didukung oleh partisipasi dan konsultasi publik, untuk membuat sistem baru
yang dituangkan dalam konstitusi atau perundang-undangan. Tujuan
institusionalisasi politik ini adalah membuat institusi politik menjadi lebih
akuntabel, transparan, terkontrol, responsif, partisipatif, dan berpijak pada
rule of law. Urgensi rekonstitusi (amandemen konstitusi) dalam konsolidasi
demokrasi adalah bahwa norma-norma konstitusional baru yang dihasilkan dari
konsolidasi konstitusional, hadir pada langkah awal dalam proses konsolidasi
demokrasi.12 Norma-norma itu memberi petunjuk pola-pola perilaku formal dalam
konstestasi politik, yang dikembangkan dan dinegosiasikan dalam proses
transisi, dan memantapkan standarisasi penyelenggaraan kekuasaan. Kegiatan
merancang konstitusi baru (rekonstitusi atau amandemen konstitusi) terjadi pada
bagian awal konsolidasi demokrasi, dan mulai memberi kesempatan pada
konsolidasi level berikutnya. Bahkan konstitusi baru yang telah terbentuk akan
memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Pada
akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru
sistem politik dan institusi .
Karakteristik sosial dan politik berpengaruh besar terhadap
sistem pemerintahan karena ketiganya memiliki hubungan saling mempengaruhi,
Dalam melaksanakan agenda reformasi dalam pemerintahan maka banayak posisi
kelembagaan Negara sekarang ini cenderung mengalami parkinsonisasi misal MPR
sekarang kerang memiliki peran karena bukan lembaga tertingi Negara lagi,
menyebabkan kondisi legislative dan eksekutif kurang seimbang dalam
kewenanagnnya,maka diharapkan oposisi yang digalang partai PDI,P mampu
mengimbangi power fullitas pemerintah.
Sayangnya, oposisi bukanlah tradisi di Indonesia.Para
politikus kita cenderung bersifat kompromis, tak ingin berposisi oposisi.Bahkan
partai yang paling keras sekalipun melunak ketika ditawari jabatan menteri.
Jadi hakikat oposisi adalah terdapatnya satu atau beberapa partai politik yang
mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah dalam menjalankan
kekuasaannya.
4.2 Solusi
Di Indonesia, perilaku oposisi merupakan hal yang menjadi tidak biasa .Ada
kecenderungan angapan oposisi hanya mementingkan kekuasaan. Akibatnya, partai
oposisi sering di pandang sebelah mata pertimbangan partai koalisi. Melihat
pentingnya peran oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia sekarang.
Tanpa berdebat soal sistem politik yang dianut, hakikatnya
oposisi itu diperlukan. Sikap beroposisi dapat menjadi kontrol bagi siapa saja
yang sedang berkuasa. Kekuasaan yang tanpa kontrol akan melahirkan pemerintahan
yang korup.
oposisi itu diperlukan untuk memberikan kontrol terhadap
penguasa. Tarik ulur penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menarik
untuk dikaji. Bukan main “hirukpikuk” menuju finalisasi terbentuknya anggota
kabinet yang lengkap. Bahkan hingga ke daerah,ada guyonan “siaga satu menunggu
telepon dari Cikeas”. Saking banyaknya yang berharap untuk masuk ke dalam
kabinet, hasil akhirnya melahirkan menteri pelangi, warnawarni. Tak soal jika
warna-warni itu menunjukkan keragaman bidang keahlian.Namun, akan jadi
hirukpikuk perdebatannya jika warnawarni itu justru menunjukkan ramainya ikut
campur partai politik dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini.
Mungkin ada beberapa alasan mengapa tercipta menteri yang
warna-warni ini. Di antara alasan itu adalah karena oposisi bukan tradisi,
strategi politik SBY yang berkeinginan menciptakan stabilitas yang
langgeng.Stabilitas menjadi prioritas. Secara sederhana,oposisi dapat diartikan
sebagai mengambil posisi berlawanan. Dalam politik, oposisi diartikan sebagai
the opposition comprises one or more political parties or
otherorganizedgroupsthatareopposed to the government, party or group in
political control of an area,county, or state. Artinya, partai yang kalah dalam
pemilu secara tegas memosisikan diri sebagai kelompok oposisi yang akan
mengkritisi dan mengawasi secara ketat kebijakan- kebijakan pemerintah yang
berkuasa. Persoalannya, apakah dalam semua sistem pemerintahan dikenal adanya
oposisi? Memang secara teori oposisi sangat terang pada negara yang menganut
sistem parlementer seperti Australia, misalnya.
Secara sederhana sistem di Australia dapat digambarkan
begini. Sebenarnya Australia juga memiliki “belasan” partai politik. Namun
biasanya yang muncul ke permukaan hanya dua kelompok besar saja,yaitu Liberal
Party (Partai Liberal) yang secara tradisional berkoalisi dengan National Party
(Partai Nasional) dan Labour Party (Partai Buruh).
Katakanlah dua partai besar tersebut yang bertarung
memperebutkan kekuasaan. Apabila pertarungan dalam suatu pemilihan umum
tersebut dimenangi Labour Party, secara otomatis partai ini yang berkuasa.
Memerintah dengan berbagai hak yang diperolehnya. Hak untuk membentuk kabinet,
misalnya. Adapun kelompok Liberal Party sebagai partai yang kalah dalam pemilu
dengan sendirinya menjadi partai oposisi.
Terkadang disebut juga dengan istilah government in waiting
karena ada kemungkinan partai yang kalah ini bakal menjadi pemerintah pada
pemilu berikutnya. Itu sebabnya oposisi di negeri ini telah mentradisi. Di
parlemen, antara partai pemerintah dan oposisi ini benarbenar berada pada
posisi berhadap- hadapan. Bahkan tempat duduk kedua kelompok ini juga
berhadap-hadapan.
Semua langkah dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan di parlemen dan pertanggungjawaban ini sebenarnya lebih kepada pihak oposisi. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah yang lepas dari kontrol dan kritik dari oposisi. Dalam sistem parlementer, saking jelasnya posisi berhadaphadapan antara pemerintah dan oposisi, pihak oposisi membentuk pula menteri bayangan (shadow ministers).
Semua langkah dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan di parlemen dan pertanggungjawaban ini sebenarnya lebih kepada pihak oposisi. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah yang lepas dari kontrol dan kritik dari oposisi. Dalam sistem parlementer, saking jelasnya posisi berhadaphadapan antara pemerintah dan oposisi, pihak oposisi membentuk pula menteri bayangan (shadow ministers).
Menteri bayangan adalah menteri-menteri yang dibentuk oleh
oposisi untuk mengimbangi dan mengawasi pekerjaan pemerintah. Semisal
pemerintah memiliki 20 menteri,maka partai oposisi yang menjadi lawan
pemerintah akan pula membentuk 20 posisi yang berfungsi sebagai menteri bayangan.Tiap
menteri bayangan akan secara ketat mengawasi menteri “mitranya” yang duduk di
pemerintahan. Tentu saja menteri yang sebenarnya adalah menterinya pemerintah.
Menteri oposisi lebih untuk menjalankan fungsi. Oposisi loyal diharapkan akan
betul-betul memperhadapkan partai penguasa dengan oposisi dalam keseriusan
untuk mengelola negara dan pemerintahan yang bisa menyejahterakan rakyat dalam
berbagai dimensinya. Bukan sebaliknya, kekuasaan berkesan menjadi
"kue" yang pantas dinikmati secara ramai-ramai dengan kemampuan
tiap-tiap partai untuk meraihnya sehingga nasib rakyat yang mendesak untuk
diperbaiki semakin jauh dari pikiran
elite partai. Di samping itu, dalam alam demokrasi yang modern, kedudukan
pemimpin partai oposisi akan menjadi sama penting dan berwibawa dengan posisi
presiden di pemerintahan. Bahkan keduanya bisa saling bersaing untuk
menunjukkan prestasi dan kontribusi bagi pembangunan demokrasi dan kesejahteraan rakyatnya.
Dengan
kemunculan oposisi loyal diharapkan partai kita lebih serius menjalankan roda
pemerintahan guna mewujudkan amanat penderitaan rakyat . Rakyat harus mengapresiasi secara adil dan
seimbang di antara keduanya, karena dengan oposisi loyal akan lahir peradaban
politik yang elegan untuk membangun demokrasi sekaligus kedewasaan bangsa.
Sekali lagi, laku atau tidaknya partai dalam perjalanan diserahkan sepenuhnya
pada sura rakyat, karena ibarat kehidupan maka vox populi vox dei, suara rakyat
adalah suara Tuhan yang akan sangat menentukan hidup dan masa depan suatu
partai politik.
4.3 SARAN
Dengan adanya pembuatan makalah ini saya mengharapkan
kritik dan saran pembaca,sehingga makalah yang kami buat ini dapat bermampaat
bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
· Syaiie,Inu Kencana, Sistem
Pemerintahan Indonesia,Gema Insane
Press,Jakarta,19991.
·
Sarwoto, Sistempemerintahan
Prancis,Galih Indonesia,Jakarta,1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar